Akemi Self-Potrait
вкус- 2nd sketchbook
25.1.2012
Akemi, 21 tahun, seorang gadis penggila buku dongeng dan buku sastra. Sekilas mendengar namanya orang yang mendengar namanya mungkin akan mengira kalau dirinya keturunan jepang. Berkulit putih dengan kelopak mata yang unik biasa disebut dengan istilah mata sipit layaknya orang jepang pada umumnya. Namun perkiraan itu lekas disanggah bahwa semata-mata itu tidak membuktikan sama sekali kalau Akemi gadis berketurunan jepang. Sebenarnya nama Akemi hanyalah sebuah nama pemberian orang tuanya yang keduanya berdarah jawa. Nama Akemi sendiri memang diambil dari bahasa jepang yang berarti senja hari, aksen bahasa asing disela namanya sengaja diselipkan oleh ayahnya yang dulu sangat menyukai hal-hal yang berbau jepang dan sekedar penanda dimana seorang bayi perempuan lucu itu dilahirkan.
Satu waktu Akemi terlibat dalam obrolan kecil bersama beberapa teman sekampusnya. Kemudian seorang teman menyeletuk diantara obrolan itu, bertanya sesuatu pada teman yang duduk disebelahnya, "bahagia menurutmu itu seperti apa?" seorang bertanya. Selesai dijawab kemudian melempar pertanyaan yang sama kepada orang berikutnya dan satu per satu menjawab sesuai cara pandang mereka masing-masing. Sedangkan menurut Akemi, bahagia itu adalah ketika dia bangun pagi mendapati langit di atas rumahnya berwarna biru, sebuah ucapan selamat pagi yang seru sembari menikmati seduan teh hijau dengan nyanyian merdu burung gereja. Duduk di bawah sinar matahari yang hangat.
Dia tahu sekali cara menikmati segala kejutan dari Tuhan yang diberikan setiap permulaan paginya, sendu ataupun senang baginya hanya sebuah pengkomposisian sudut pandang personal masing-masing individu tentang bagaimana menerima kejutan Tuhan tersebut. Mungkin saja kata sendu menurut beberapa orang bisa berarti penggambaran suasana hati yang pilu, tentang kesedihan ataupun kemurungan. Tapi untuk Akemi sendiri , dia sangat tahu bagaimana cara menghalau sendu itu. Berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil, menatap ranting-ranting pohon yang sedang bercumbu dengan sebuah gedung tua bekas toko bunga, menghirup angin yang lewat berlalu bercampur dengan aroma khas pepohonan pinggir jalan sembari mendengarkan musik favorit itu cukup membuat suasana hatinya membaik. Dan menemukan hal-hal baru yang membuatnya menjadi bahagia.
Kadang tidak terasa lengkap bagi Akemi bila melewati penghujung di hari itu hanya dilewatinya saja tanpa bercerita di dalam buku hariannya. Beristirahat di sebuah pohon dekat taman kota, jari jemarinya dengan pensil mekaniknya mulai memainkan perannya seolah seperti keasikan yang tidak berkesudahan menulis tanpa henti. Menuliskan kata-kata yang sudah terkumpul banyak di dalam otaknya seperti sama halnya ember yang sudah terisi penuh dengan air yang kemudian dipindahkan ke bejana yang lainnya. Dan diakhir cerita di senja hari itu, Akemi menambahkan kalimat penutup "Sendu dan senang layaknya sisi koin walaupun berbeda di tiap sisinya ketika dilempar ke atas dan kamu tagkap kembali itu tidak akan merubah nilai nominal ataupun bentuknya, sama saja. Perlakukan kedua sisinya secara adil, ketika kita merasa senang selalu menjaga diri untuk tidak berlebihan saat menikmatinya begitu juga sebaliknya, sesuaikan menurut porsimu sendiri. Tidak lebih ataupun kurang."
Satu waktu Akemi terlibat dalam obrolan kecil bersama beberapa teman sekampusnya. Kemudian seorang teman menyeletuk diantara obrolan itu, bertanya sesuatu pada teman yang duduk disebelahnya, "bahagia menurutmu itu seperti apa?" seorang bertanya. Selesai dijawab kemudian melempar pertanyaan yang sama kepada orang berikutnya dan satu per satu menjawab sesuai cara pandang mereka masing-masing. Sedangkan menurut Akemi, bahagia itu adalah ketika dia bangun pagi mendapati langit di atas rumahnya berwarna biru, sebuah ucapan selamat pagi yang seru sembari menikmati seduan teh hijau dengan nyanyian merdu burung gereja. Duduk di bawah sinar matahari yang hangat.
Dia tahu sekali cara menikmati segala kejutan dari Tuhan yang diberikan setiap permulaan paginya, sendu ataupun senang baginya hanya sebuah pengkomposisian sudut pandang personal masing-masing individu tentang bagaimana menerima kejutan Tuhan tersebut. Mungkin saja kata sendu menurut beberapa orang bisa berarti penggambaran suasana hati yang pilu, tentang kesedihan ataupun kemurungan. Tapi untuk Akemi sendiri , dia sangat tahu bagaimana cara menghalau sendu itu. Berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil, menatap ranting-ranting pohon yang sedang bercumbu dengan sebuah gedung tua bekas toko bunga, menghirup angin yang lewat berlalu bercampur dengan aroma khas pepohonan pinggir jalan sembari mendengarkan musik favorit itu cukup membuat suasana hatinya membaik. Dan menemukan hal-hal baru yang membuatnya menjadi bahagia.
Kadang tidak terasa lengkap bagi Akemi bila melewati penghujung di hari itu hanya dilewatinya saja tanpa bercerita di dalam buku hariannya. Beristirahat di sebuah pohon dekat taman kota, jari jemarinya dengan pensil mekaniknya mulai memainkan perannya seolah seperti keasikan yang tidak berkesudahan menulis tanpa henti. Menuliskan kata-kata yang sudah terkumpul banyak di dalam otaknya seperti sama halnya ember yang sudah terisi penuh dengan air yang kemudian dipindahkan ke bejana yang lainnya. Dan diakhir cerita di senja hari itu, Akemi menambahkan kalimat penutup "Sendu dan senang layaknya sisi koin walaupun berbeda di tiap sisinya ketika dilempar ke atas dan kamu tagkap kembali itu tidak akan merubah nilai nominal ataupun bentuknya, sama saja. Perlakukan kedua sisinya secara adil, ketika kita merasa senang selalu menjaga diri untuk tidak berlebihan saat menikmatinya begitu juga sebaliknya, sesuaikan menurut porsimu sendiri. Tidak lebih ataupun kurang."
_____________
berbahagialah
berbahagialah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar